Beberapa
bulan sebelum tahun ajaran baru, biasanya para orang tua yang anaknya akan
memasuki sebuah jenjang pendidikan, sudah sibuk memilih sekolah untuk sang buah
hati. Begitu juga yang saya alami. Tahun ini sulung saya akan masuk SD.
Ada sebuah sekolah yang telah saya dan suami
survey selama dua tahun terakhir ini, lebay banget ya sampai dua tahun
nyurveynya hehee…tapi memang begitulah adanya. Pertama kali saya mendengar tentang
sekolah ini dari seorang teman yang
anaknya sudah duluan sekolah di sana. Teman saya ini mengungkapkan kepuasannya
karena merasa cocok dengan kurikulum
juga metode yang digunakan sekolah tersebut.
“
beberapa bulan sekolah disana, aku merasakan sekali perubahan sikap anakku,
yang jadi jauuuh lebih santun dan hatinya pun jadi lebih lembut”, ungkap teman
saya.
Testimoni
menarik dari teman inilah yang membuat saya tergoda untuk mencari informasi
lebih banyak tentang sekolah tersebut. Akhirnya mantaplah saya dan suami
memilih sekolah yang telah memiliki enam belas cabang di indonesia itu, untuk
buah hati kami.
Bulan
Februari yang lalu kami berkunjung ke sekolah incaran ini untuk membeli
formulir pendaftaran. Begitu menjejakkan
kaki di depan sekolah, pandangan saya menyapu area depan bangunan gedung yang tidak bisa dikatakan mewah. Bersahaja namun penuh kharismatik itu
penilaian awal saya. Di pintu masuk kami disambut ramah oleh salah satu guru
disana. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, lalu kami diantar kebagian
pendaftaran.
Setelah
memperkenalkan diri, guru yang menerima kami di bagian pendaftaran itu membuka
percakapan yang sungguh diluar dugaan saya.
“Sebelum
bapak dan ibu membeli formulir pendaftaran, izinkan saya menjelaskan tentang
apa dan bagaimana sekolah kami,” ujarnya. “Bila nanti anak bapak dan ibu
bersekolah disini, maka sesungguhnya yang sekolah bukan cuma anaknya tapi juga
kedua orang tua dengan dukungan seluruh anggota keluarga. Setiap bulan kami
mengadakan pertemuan rutin seluruh orang tua, yang wajib dihadiri oleh kedua
orang tua. Pertemuan ini selain membahas perkembangan siswa, lebih di titik
beratkan pada diskusi tentang pola asuh yang merujuk pada parenting nabawiyah.
Kira-kira bapak dan ibu bisa hadirkah di pertemuan rutin ini?”, tanyanya pada
kami dengan tetap menyunggingkan senyum ramah. Saya dan suami mengangguk mantap, karena kami
sudah dapat informasi tentang ini sebelumnya dari teman saya itu.
“Ada
PR (Pekerjaan Rumah) yang penyelesaiannya dilakukan oleh anak dan orang tuanya.
Contoh, hari ini anak belajar tentang adab kepada orang tua. Lalu anak
mendapatkan PR untuk berbuat baik pada orang tuanya, Untuk berbuat baik
pada ayah, anak diminta menyambut ayah
yang pulang kerja lalu menghidangkan air minum untuk beliau. Untuk berbuat baik
pada ibu, anak diminta mencuci semua piring kotor setelah makan malam keluarga.
Bila anak melakukan semua tugas tersebut, artinya anak mengerjakan PR-nya. Nah,
tugas orang tua adalah mendokumentasikan semua kegiatan anak selama mengerjakan
PR tersebut, lalu mengirimkan kepada gurunya”, papar guru tersebut menjelaskan.
Saya
terpana mendengar penjelasan beliau. Belum pernah saya mendengar sekolah dengan
metode semacam itu. Saya teringat pada sebuah artikel tentang tips memilih
sekolah untuk anak, diantaranya:
Pertama,
Perhatikan baik-baik respon dari pihak sekolah saat kita datang dan
meminta informasi. Apakah kita disambut dengan baik, ramah, di jelaskan dengan
sabar; atau malah sebaliknya tidak ada yang menyapa, tidak ramah, tidak paham
info dan dilempar kesana kemari?
Kedua,
Pada saat kita bertanya tentang sekolah, apakah sekolah meminta komitmen pada
orang tua, jika perlu dalam bentuk resmi di tanda tangani untuk mengajak orang
tua bekerjasama dalam menyelesaikan masalah anak secara tuntas hingga ke rumah,
atau lebih banyak membahas syarat-syarat administrasi pendaftaran dan
biaya-biaya yang harus dibayarkan ? Itu artinya sekolahnya lebih fokus pada
administratif dan keungan daripada ke anak didiknya dan proses pendidikannya.
Sekolah semacam ini biasanya terlihat mentereng dan keren tapi muridnya banyak
mengalami masalah dan tertekan
Uraian
beliau berikutnya tentang sekolah ini membuat saya semakin manggut-manggut.
Diakhir penjelasannya beliau mempersilahkan kami untuk mempertimbangkan dan
memantabkan hati kembali sebelum kami membeli formulir pendaftaran. Rupanya
formulir itu baru bisa di beli setelah
kegiatan Studium General yang diselenggarakan pihak sekolah untuk semua
calon orang tua siswa. Studium General itu sendiri semacam seminar singkat,
dimana pihak yayasan sekolah menyampaikan secara gamblang tentang segala
sesuatu tentang sekolah tersebut.
Sabtu
kemarin, tanggal 5 Maret 2016 kami telah mengikuti test seleksi masuk sekolah
tersebut. Kenapa saya menggunakan kata ‘kami’, karena memang yang mengikuti
test seleksi bukan hanya calon siswanya
saja, saja tapi juga kedua orang tuanya.
Iya betul, kedua orang tua wajib hadir mengikuti serangkaian tes tulis dan
wawancara. Kedua test tersebut diselesaikankan
ayah dan ibu secara bersama-sama.
Hanya
sepertiga dari pendaftar yang akan diterima di sekolah tersebut. Semoga Allah
rezekikan anak kami sebagai salah
satunya, aamiin.
Ya itulah sekolah yang sebenarnya, yang menerapkan belajar sepanjang hayat. Anak2 belajar dan orang tua juga terus belajar. Andaikan semua sekolah di muka bumi ini seperti itu.
BalasHapusSemoga ya qin...
BalasHapusNama sekolahnya apa Mba? Jadi pengin.
BalasHapusKuttab Al-Fatih mba nindy. klo penasaran sog atuh di gugling untuk info selengkapnya... ;)
BalasHapus