Rabu, 02 Maret 2016

SANG TARGET



Mataku nanar menatap deretan kata yang sepertinya ditulis dengan tergesa-gesa pada potongan kertas kumal dengan noda darah yang kini berada ditangan kananku. Sekeras apapun aku memerintahkan otakku untuk berfikir, tetap saja aku tak paham maksud dari keempat kata yang tertera pada kertas ini. Burung, President, Flashdisk, dan kopi. Entah apa hubungan keempat kata ini, hingga menyebabkan seseorang babak-belur berlumuran darah dan lari ketakutan dengan membawa potongan kertas  yang tampaknya begitu berharga.
Aku merutuki diri habis-habisan. Andai saja tadi malam aku menolak lebih keras ajakan teman-teman ke warung tenda mang Ujang, dalam rangka makan-makan merayakan keberhasilan team kami menjuarai kontes robotic, tentu pagi ini aku tak akan bangun kesiangan. Ketinggalan mobil jemputan sekolah, hingga terpaksa pontang-panting mengayuh sepeda menerobos gang-gang sempit , mencari  jalan pintas agar bisa melenggang masuk melalui gerbang sekolah sebelum gembok besar terpasang pada pintu setinggi tiga meter yang akan membatasi dunia luar dengan lingkungan sekolahku. Saat aku meliuk-liuk diatas sepedaku, melintasi jemuran pakaian yang silang pintang dikawasan padat penduduk yang aku lewati, mendadak seseorang yang bersimbah darah lari menabrak sepedaku. Kami jatuh terduduk ditanah becek berlumpur. Aku terperangah menatap wajah laki-laki yang baru saja menabrakku, babak-belur. Mata sebelah kirinya bengkak dengan warna ungu tua, bibir pecahnya memperlihatkan dua rongga penuh darah yang ditinggalkan gigi akibat pukulan keras. Tangan kanannya menekan luka menganga pada perut sebelah kiri yang terus mengucurkan darah segar. Laki-laki yang kutaksir berusia pertengahan tiga puluhan itu, tergesa melompat menarik tanganku.
“Berikan kertas ini pada kapten Aris, Berlian Tower lantai lima belas. Jangan sampai kertas ini jatuh pada orang lain. Larilah, mereka akan segera tiba”, bisiknya terengah-engah dengan pandangan penuh permohonan. Mulutku terbuka siap menghujaninya dengan pertanyaan, tapi  lelaki itu telah berlari meninggalkanku.
Telingaku menangkap ramai derap kaki berlarian di belakangku. Seketika otakku memberi perintah pada segenap syaraf tubuh untuk lari…!!!
Kukayuh sepeda bagai orang kesurupan. Ini pasti masalah serius. Siapa kapten Aris? Seperti apa wajahnya? Bagaimana caranya agar kertas penting ini bisa kuberikan padanya? Siapa lelaki bersimbah darah yang menabrakku itu? Puluhan pertanyaan berseliweran di kepalaku.
Aku tak mungkin lagi ke sekolah dengan baju belepotan lumpur dan noda darah dari tubuh laki-laki yang menabrakku tadi. Pulang ke rumah, lebih tak mungkin lagi jika membayangkan aku akan di interogasi orang serumah karena bolos sekolah.
Derap langkah-langkah kaki semakin jelas kudengar.
“Hei, tangkap anak itu” sebuah suara menggelegar membelah langit pagi. Aku menoleh. Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan wajah sangar, mengarahkan telunjuknya padaku.
Aku pacu sepedaku lebih cepat, merunduk, meliuk-liuk menghindari segala penghalang didepanku. Ruang rahasia di basecamp Robot, tempat itu yang muncul dibenakku sebagai tujuan saat ini.
“Kejaaarr…menyebar…jangan sampai anak itu lolos”, sayup-sayup kudengar suara dibelakangku.
Aku melesat bersama sepedaku.

(Bersambung…)

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

2 komentar:

  1. Makasih mba Nindyah...aku juga ga tau tuh tulisan mau nyeritain apa sebenarnya..hihiii

    BalasHapus

Tulis ya