Saya
tertegun disodori pertanyaan itu. Pertanyaan singkat tapi mampu menghantarkan
saya pada masa bertahun-tahun silam. Ingatan saya terseret mundur pada lorong
waktu.
Saat saya duduk di bangku Sekolah
Dasar, Saya sudah terkena candunya membaca dan tergila-gila pada buku. Meski
kenyataannya kemudian rasa candu itu perlahan mulai terkikis digerus padatnya
rutinitas. Buku adalah benda sakti yang telah terbukti mampu menyihir saya
dalam untaian kata. Dimalam hari, saya tak akan bisa memejamkan mata jika belum
membawa dan membaca buku ke ranjang tidur saya. Dilain waktu, bila menu masakan
yang dihidangkan ibu adalah yang kebetulan
kurang saya minati, maka saya akan tetap mampu melahap habis semua
makanan yang diletakkan ibu di piring saya, asalkan saya makan sambil membaca. Apa
yang saya baca, sungguh membawa pengaruh besar pada diri saya. Tidak akan
pernah terlupakan, ketika saya masih di kelas 3 SD, bagaimana sebuah cerpen
yang saya baca pada majalah Bobo dengan judul ‘Sang Bintang’, manpu membakar
semangat belajar hingga menghantarkan
saya menjadi peringkat teratas dikelas hingga saya tamat SD. Saya terkagum-kagum
pada isi cerpen itu, terlebih lagi pada penulisnya. Kala itu saya tidak habis
fikir, bagaimana seorang yang tidak saya kenal dan diapun tak mengenal saya ,
bisa begitu hebat mempengaruhi fikiran dan menggelorakan semangat didada saya. Inilah
awal kekaguman saya pada penulis. Wow…lihatlah, dengan tulisan seseorang mampu
menggerakkan motor yang bertahun-tahun diam tak pernah digunakan. Sejak saat
itu saya bermimpi untuk bisa membuat tulisan seperti yang dihasilkan penulis
cerpen ‘Sang Bintang’. Inilah alasan pertama kenapa saya harus jadi penulis.
Alasan
kedua,
Menulis
dapat membuat saya menyalurkan emosi tanpa menyakiti orang lain. Ketika saya
dilanda amarah, saya akan tumpahkan dalam bentuk tulisan , yang hanya boleh
dibaca oleh diri saya sendiri. Saya tak ingat kapan persisnya saya menemukan dan
menerapkan metoda ini. Namun yang pasti dengan mengalirkan perasaan dalam
aliran kata, saya merasa lebih bisa mengelola emosi jiwa. Ketika semua luapan
kemarahan sudah tumpah ruah dalam taburan aksara pada lembar-lembar tulisan,
maka saya akan beranjak melanjutkan aktifitas lain dengan membawa perasaan lega
di dada tentunya. Lalu, diasaat hati dan kepala sudah dingin, saya akan membaca
kembali tulisan kemarahan itu, dan biasanya disaat inilah saya mampu mengoreksi
diri dan mengurai masalah yang menjadi pemicu timbulnya si amarah.
Alasan
ketiga,
Ketika
Rasulullah SAW menuturkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi
manfaat bagi manusia lainya, maka cukuplah itu kiranya yang menjadi alasana
saya untuk terus menebar kebermanfaatan pada begitu banyak orang dalam bentuk
tulisan. Semoga Allah SWT memampukan saya untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis ya