Sudah
hampir dua minggu ini keadaan rumah kami kacau balau karena sedang direnovasi,
dan ini masih akan berlanjut hingga dua setengah bulan kedepan. Proses renovasi
ini berlangsung dengan kondisi rumah tetap kami huni. Banyak pertimbangan yang
membuat kami akhirnya mengambil keputusan itu. Selain tak mudah mencari rumah
yang dikontrak hanya untuk tiga bulan, membayangkan pindahan dengan mengangkut
banyak barang yang tak lama kemudian
akan diangkut kembali pulang ke rumah,
membuatku merasa badan sudah letih duluan.
Untuk
melindungi dua putri kecil kami dari debu dan kegaduhan yang diakibat oleh
pengerjaan renovasi ini, pagi-pagi sebelum para tukang tiba, mereka aku
ungsikan kerumah mertua, dititipkan pada
kakek dan neneknya. Selepas magrib, saat lantai telah bersih aku pel dan sudah
pula membenahi ini dan itu hingga rumah terasa sedikit nyaman, barulah
anak-anak kami jemput untuk pulang.
Awal
pekan lalu putri sulung kami yang berusia enam tahun mengalami cidera yang membuatnya mendapat
beberapa jahitan di kepala. Keadaan ini tanpa aku sadari membuat perhatianku
lebih banyak tersita untuk membantu si
sulung. Beberapa kegiatan ditunda bahkan
ada yang aku batalkan.
Kesadaranku
terhempas tatkala sore ini suamiku pulang tanpa putri kedua kami. Bukankah tadi
pagi suamiku sendiri yang bilang pulang kerja akan langsung singgah ke rumah
orang tuanya untuk menjemput anak-anak? Si bungsu menolak pulang, itulah yang
terjadi. Putri bungsuku memilih menginap untuk tidur dalam pelukan kakek dan
neneknya. Dengan begitu, maka ini adalah hari kedua bungsuku menolak diajak
pulang. Aku tergugu. Tergesa aku masuk ke kamar dan berganti pakaian dengan
mata panas terpanggang bulir-bulir air yang meluncur deras dari pelupuknya. Aku
harus menjemput anakku. Tidakkah ia merindukan dekapanku? Benarkah ia tak lagi
menginginkan ungkapan-ungkapan sayang yang saling kami ucapkan di pembaringan
sebelum pulas tertidur?
Suara
sepeda motor yang berhenti di depan rumah membuatku menyambar kain apa saja
untuk menutupi kapala, dan segera menghambur keluar. Aku hafal betul jika itu
adalah suara sepeda motor ayah mertuaku. Aku dapati putri bungsuku duduk tak
bergeming di atas sepeda motor itu. Aku mengulurkan tangan memeluknya. Ia diam
saja tapi tak pula menolak tanganku. Aku dekap tubuh mungil itu dan membawanya
masuk.
“Adek
marah ya nak sama bunda ?” tanyaku tercekat.
Kepalanya
bergerak mengangguk.
“Bunda
gak sayang lagi sama adek, bunda sayangnya sama kakak. Adek mau jadi anak mbah
aja” kalimat itu meluncur dari bibir mungil anakku yang bahkan usianya belum
genap tiga tahun.
Tangisku
pecah. Kupeluk erat tubuh kanak-kanak itu, sambil berulangkali membisikkan
permintaan maafku di telinganya. Dadaku sesak. Apa saja yang telah aku lakukan sepekan
terakhir ini hingga salah satu anakku merasa aku mengabaikanya? Ya Allah,
ampuni aku.
Malam
ini aku berbaring diantara kedua jantung hatiku. Kami saling bicara tentang
banyak hal, yang kemudian kami tutup dengan sebuah kesepakatan. Bahwa mulai
besok, aku dan kakak setiap hari akan menuliskan di secarik kertas tentang dua
hal yang kami rasakan dihari itu. Pertama, sikapnya yang membuatku sedih dan
kecewa, kemudian yang kedua, apa yang membuatku senang dan bangga padanya. Kakakpun
akan menulisakan hal yang sama untukku. Untuk selanjutnya, isi tulisan itu akan
menjadi pembahasan kami sebelum tidur. Untuk adek, karena belum bisa menulis
maka ia akan menyampaikannya secara lisan.
Terima
kasih ya Allah untuk pelajaran berharga yang Engkau berikan padaku melalui
kejadian malam ini. Betapa aku harus selalu belajar agar menjadi ibu yang baik
bagi anak-anakku sendiri. Mungkin memang tak ada sekolah untuk menjadi ibu,
tapi aku akan belajar langsung dari sekolah kehidupan yang Engkau berikan
padaku. Maka, mampukan aku ya Illahi Rabbi untuk membaca taburan hikmah disetiap peristiwa yang Engkau tetapkan
untukku, agar kelak aku mampu mempertanggungjawabkan amanahMU dan agar aku tak
kehilangan muka mengenang Rasulullah yang sejatinya teladan bagi hidupku.
Malam
ini aku tidur setelah mencium kening kedua putriku yang pulas dengan bibir
menyungging senyum.
Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
Bunda...saya jadi ikutan sedih membacanya....
BalasHapusAnak saya masih 11 bulan. Dan sudah menunjukkan gelagat2 lebih senang sama opa omanya dibanding saya. Hahhhhh...!!
Semangaattt mbaa..mari rebut kembali perhatian anak kita...mereka boleh sayang pada semua anggota keluarga..tapi bounding terkuat harus pada kita org tuanya...ini menurut saya sih mba hehee
HapusKeren banget kesepakatannya, mbak.. Nulis dua hal yang dirasakan dan akan dibahas saat akan tidur.. Mantap..
BalasHapusSemoga cara ini bisa membuat saya lebih peka akan apa yg dirasakan anak2 saya bang...:)
HapusJadi ikut terharu membacanya..
BalasHapusBunda hebat..
Mau meniru kesepakatannya, bolehkan Rif?
Silahkan uni..semoga bermanfaat juga buat uni dan anak2 :)
HapusSedih..
BalasHapusIya mba sri...aku ngalaminnya mpe nangis bombay...hehee
HapusEnaknya....jadi kayak kisah chicken soup for the soul.
BalasHapusAndai orang tuaku kayak gitu ya. Boro-boro hahahah
Waahh masih jauuuh tulisanku dari chiken soup for the soul mba febiiie...hihiiiy
Hapus