Selasa, 29 Maret 2016

AMANAH SEORANG IBU



Sudah hampir dua minggu ini keadaan rumah kami kacau balau karena sedang direnovasi, dan ini masih akan berlanjut hingga dua setengah bulan kedepan. Proses renovasi ini berlangsung dengan kondisi rumah tetap kami huni. Banyak pertimbangan yang membuat kami akhirnya mengambil keputusan itu. Selain tak mudah mencari rumah yang dikontrak hanya untuk tiga bulan, membayangkan pindahan dengan mengangkut banyak barang yang  tak lama kemudian akan  diangkut kembali pulang ke rumah, membuatku merasa badan sudah letih duluan.

Untuk melindungi dua putri kecil kami dari debu dan kegaduhan yang diakibat oleh pengerjaan renovasi ini, pagi-pagi sebelum para tukang tiba, mereka aku ungsikan kerumah mertua,  dititipkan pada kakek dan neneknya. Selepas magrib, saat lantai telah bersih aku pel dan sudah pula membenahi ini dan itu hingga rumah terasa sedikit nyaman, barulah anak-anak kami jemput untuk pulang.

Awal pekan lalu putri sulung kami yang berusia enam tahun  mengalami cidera yang membuatnya mendapat beberapa jahitan di kepala. Keadaan ini tanpa aku sadari membuat perhatianku lebih banyak tersita untuk membantu  si sulung. Beberapa kegiatan  ditunda bahkan ada yang aku batalkan.
Kesadaranku terhempas tatkala sore ini suamiku pulang tanpa putri kedua kami. Bukankah tadi pagi suamiku sendiri yang bilang pulang kerja akan langsung singgah ke rumah orang tuanya untuk menjemput anak-anak? Si bungsu menolak pulang, itulah yang terjadi. Putri bungsuku memilih menginap untuk tidur dalam pelukan kakek dan neneknya. Dengan begitu, maka ini adalah hari kedua bungsuku menolak diajak pulang. Aku tergugu. Tergesa aku masuk ke kamar dan berganti pakaian dengan mata panas terpanggang bulir-bulir air yang meluncur deras dari pelupuknya. Aku harus menjemput anakku. Tidakkah ia merindukan dekapanku? Benarkah ia tak lagi menginginkan ungkapan-ungkapan sayang yang saling kami ucapkan di pembaringan sebelum pulas tertidur? 

Suara sepeda motor yang berhenti di depan rumah membuatku menyambar kain apa saja untuk menutupi kapala, dan segera menghambur keluar. Aku hafal betul jika itu adalah suara sepeda motor ayah mertuaku. Aku dapati putri bungsuku duduk tak bergeming di atas sepeda motor itu. Aku mengulurkan tangan memeluknya. Ia diam saja tapi tak pula menolak tanganku. Aku dekap tubuh mungil itu dan membawanya masuk.

“Adek marah ya nak sama bunda ?” tanyaku tercekat.
Kepalanya bergerak mengangguk.
“Bunda gak sayang lagi sama adek, bunda sayangnya sama kakak. Adek mau jadi anak mbah aja” kalimat itu meluncur dari bibir mungil anakku yang bahkan usianya belum genap tiga tahun.

Tangisku pecah. Kupeluk erat tubuh kanak-kanak itu, sambil berulangkali membisikkan permintaan maafku di telinganya. Dadaku sesak. Apa saja yang telah aku lakukan sepekan terakhir ini hingga salah satu anakku merasa aku mengabaikanya? Ya Allah, ampuni aku.

Malam ini aku berbaring diantara kedua jantung hatiku. Kami saling bicara tentang banyak hal, yang kemudian kami tutup dengan sebuah kesepakatan. Bahwa mulai besok, aku dan kakak setiap hari akan menuliskan di secarik kertas tentang dua hal yang kami rasakan dihari itu. Pertama, sikapnya yang membuatku sedih dan kecewa, kemudian yang kedua, apa yang membuatku senang dan bangga padanya. Kakakpun akan menulisakan hal yang sama untukku. Untuk selanjutnya, isi tulisan itu akan menjadi pembahasan kami sebelum tidur. Untuk adek, karena belum bisa menulis maka ia akan menyampaikannya secara lisan.

Terima kasih ya Allah untuk pelajaran berharga yang Engkau berikan padaku melalui kejadian malam ini. Betapa aku harus selalu belajar agar menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku sendiri. Mungkin memang tak ada sekolah untuk menjadi ibu, tapi aku akan belajar langsung dari sekolah kehidupan yang Engkau berikan padaku. Maka, mampukan aku ya Illahi Rabbi untuk membaca taburan  hikmah disetiap peristiwa yang Engkau tetapkan untukku, agar kelak aku mampu mempertanggungjawabkan amanahMU dan agar aku tak kehilangan muka mengenang Rasulullah yang sejatinya teladan bagi hidupku.
Malam ini aku tidur setelah mencium kening kedua putriku yang pulas dengan bibir menyungging senyum.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

10 komentar:

  1. Bunda...saya jadi ikutan sedih membacanya....


    Anak saya masih 11 bulan. Dan sudah menunjukkan gelagat2 lebih senang sama opa omanya dibanding saya. Hahhhhh...!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangaattt mbaa..mari rebut kembali perhatian anak kita...mereka boleh sayang pada semua anggota keluarga..tapi bounding terkuat harus pada kita org tuanya...ini menurut saya sih mba hehee

      Hapus
  2. Keren banget kesepakatannya, mbak.. Nulis dua hal yang dirasakan dan akan dibahas saat akan tidur.. Mantap..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga cara ini bisa membuat saya lebih peka akan apa yg dirasakan anak2 saya bang...:)

      Hapus
  3. Jadi ikut terharu membacanya..

    Bunda hebat..

    Mau meniru kesepakatannya, bolehkan Rif?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan uni..semoga bermanfaat juga buat uni dan anak2 :)

      Hapus
  4. Balasan
    1. Iya mba sri...aku ngalaminnya mpe nangis bombay...hehee

      Hapus
  5. Enaknya....jadi kayak kisah chicken soup for the soul.

    Andai orang tuaku kayak gitu ya. Boro-boro hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahh masih jauuuh tulisanku dari chiken soup for the soul mba febiiie...hihiiiy

      Hapus

Tulis ya