Entah
dari mana datangnya, tiba-tiba saja keinginan untuk bisa melakukan hal yang sebelumnya tidak aku suka, muncul
begitu kuat. Tak tanggung-tanggung tiga sekaligus. Anehnya, aku justeru
memperturutkan keinginan yang menelusup diam-diam dalam dalam hati itu. Ah, tentulah ia sudah menguasai labirin
otakku dan dengan sesukanya memerintahkan syaraf-syaraf disana untuk mengambil
keputusan agar aku melakukan semua
keinginan itu.
Pertama,
Aku
ingin bisa memasak makanan enak yang sesungguhnya. Iya, makanan enak yang
sesungguhnya, bukan makanan yang pura-puranya enak. Adalah dua putri kecilku,
yang entah bagaimana lihai sekali memuji makanan apapun yang aku masak dan
hidangkan untuk mereka.
“masakan
bunda sedap, kakak doyan banget. Makasih ya bunda udah masakin kakak” sanjung
putri sulungku yang berusia enam tahun. Padahal aku hanya memasak telur dadar
dan sayur bening bayam untuknya.
“sama-sama
nak, makasih juga karena kakak dan adek
udah makan dengan lahap” jawabku dengan senyum di bibir.
“iya
macakan bunda enak, telol lebus adek cedap banget, nanti kalo udah abis macakin
lagi ya bun” timpal si bungsu tak mau ketinggalan.
“iya
sayang” sahutku sambil mencium gemas pipinya yang terlihat semakin tembem
terdorong makanan yang memenuhi rongga mulut mungilnya.
Suamiku
yang dari tadi memperhatikan kami tak kuasa lagi menahan tawanya, dengan
terbahak-bahak ia berlalu meninggalkan kami setelah mendapati mataku melotot
kearahnya. Bukankah siapapun yang memasaknya , rasa telur rebus tetaplah sama,
begitulah kurang lebih makna tawa suamiku. Aku tersenyum meringis. Lihatlah,
bahkan sebutir telur rebus saja sudah membuatku mendapat sanjungan begini rupa
dari anak-anakku. Aku harus belajar memasak makanan lezat yang sebenarnya,
tekadku. Sejak saat itu aku mulai rajin membaca artikel-artikel, nonton banyak
tutorial masak memasak dan bergabung di sebuah cooking class.
Kedua,
Aku
ingin bisa menjahit. Kali ini tiga sahabatku yang terbelalak tak percaya mendengar
kalimat yang kuucapkan, ketika aku meminta mereka mencarikan tempat kursus
menjahit.
“Ya,
kalian tak salah dengar. aku akan belajar menjahit” tegasku.
Tawa
mereka meledak.
“aku
gak kebayang, batapa stresnya mesin jahit begitu kamu mendekatinya” ucap tiwi
yang membuat tawa mereka makin tak berkesudahan. Aku ikut tergelak. Tiwi pasti
teringat kejadian belasan tahun lalu ketika kami masih duduk di bangku SMP. Betapa
putus asanya bu guru yang mengajar keterampilan, saat mengajariku menjahit.
Hingga akhir semester tinggal akulah satu satunya siswa yang tak mengusai
pelajaran, nan dalam hitungan tak sampai sepuluh menit selalu mematahkan
selusin jarum mesin jahit. Aku memang tak pandai menjahit. Bahkan saat kuliah
dan harus kost, ketika kancing bajuku copot, aku dengan sigap mencari lem alteco
untuk merekatkannya kembali kebajuku. Percakapan dengan putriku akhir pekan
lalulah yang membuatku nekad bertekad untuk bisa menjahit.
“Bunda,
tadi di sekolah Syifa make tempat pensil baru bikinan bundanya, cantik banget
deh bun. Kakak juga mau dong bun dibikinin tas dan tempat pensil sama bunda”
ucap putriku berharap.
“Bunda
belum bisa menjahit sayang” jawabku sambil mengusap kepalanya.
“Kalau
pulang kerja bunda udah gak capek, bunda mau gak belajar bikin tempat pensil
sama bundanya Syifa? Tar kakak bilangin ke bundanya syifa kalau bunda mau
belajar” rayunya lagi.
Ini
bukan kali pertama putriku bercerita tentang Syifa sahabatnya di Taman
Kanak-kanak yang sering dibuatkan ini dan itu oleh bundanya. Dan sudah acap
kali pula putriku itu menyampaikan keinginan untuk merasakan memakai pernak-pernik
buatanku. Lalu muncullah tekadku untuk bisa mewujudkan keinginanya.
Tiwi
sahabatku berjanji siang ini akan mendaftarkanku pada rumah belajar menjahit,
sebuah komunitas ibu ibu muda yang awam soal jahit menjahit tapi punya tekad
sepertiku.
Ketiga,
Aku
ingin bisa berkebun, menanam ragam tumbuhan yang indah. Aku sadar betul kalau
selama ini aku merasa tak punya bakat bercocok tanam. Tak satupun tumbuhan yang
kutanam dapat hidup dan tumbuh. Bertolak belakang denganku, putri bungsuku
justru memperlihatkan ketertarikannnya pada tumbuhan. Setiap hari tak bosan
bosannya ia mengamati dan bermain dibawah pohon mangga yang merupakan satu
satunya tumbuhan di halaman rumah kami. Tadi pagi, ia mengatakan keinginannya
untuk menjadi pak tani, dan mengajakku untuk menanam banyak pohon.
“segera
tangkap keinginan adek bun, ayo kita dukung dan fasilitasi. Biarkan anak-anak
mengeksplor semua rasa ingin tahunya”, ucap suamiku ketika aku menceritakan
keinginan si adek padanya. Baiklah, aku akan belajar dan mempersiapkan diri
untuk mendampinginya.
Anak
adalah keajaiban. Amboi lihatlah, betapa dua putri kecilku ini mampu merubah
seorang aku. Tak salah jika ada ungkapan, anak adalah sumber kekuatan yang mampu
membuat seorang ibu melompat lebih tinggi melebihi apa yang ia kira. Aku akan
berjuang untuk terus memantaskan diri mendampingi anak-anakku sebagai seorang
ibu.
*****
coretan kecil ini didedikasikan untuk sebuah keluarga hebat nan menginspirasi, keluarga bang Syaiha dan mba Ella bersama Alif sang pangeran kecil .
#HappyAniversaryBangSyaihaDanMbakElla
#OneDayOnePos
#MenulisSetiapHari
Kirain kisah nyata bund
BalasHapusHahayy emang iya mba An... :D
HapusIh.. suka deh dgn quotenya, anak adalah keajaiban. salam kenal mba rifa. Inspiratif banget blog nya
BalasHapus