Mataku
nanar menatap deretan kata yang sepertinya ditulis dengan tergesa-gesa pada
potongan kertas kumal dengan noda darah yang kini berada ditangan kananku. Sekeras
apapun aku memerintahkan otakku untuk berfikir, tetap saja aku tak paham maksud
dari keempat kata yang tertera pada kertas ini. Burung, President, Flashdisk, dan kopi. Entah apa hubungan keempat
kata ini, hingga menyebabkan seseorang babak-belur berlumuran darah dan lari
ketakutan dengan membawa potongan kertas yang tampaknya begitu berharga.
Aku
merutuki diri habis-habisan. Andai saja tadi malam aku menolak lebih keras
ajakan teman-teman ke warung tenda mang Ujang, dalam rangka makan-makan merayakan
keberhasilan team kami menjuarai kontes robotic, tentu pagi ini aku tak akan bangun
kesiangan. Ketinggalan mobil jemputan sekolah, hingga terpaksa pontang-panting
mengayuh sepeda menerobos gang-gang sempit , mencari jalan pintas agar bisa melenggang masuk
melalui gerbang sekolah sebelum gembok besar terpasang pada pintu setinggi tiga
meter yang akan membatasi dunia luar dengan lingkungan sekolahku. Saat aku
meliuk-liuk diatas sepedaku, melintasi jemuran pakaian yang silang pintang
dikawasan padat penduduk yang aku lewati, mendadak seseorang yang bersimbah
darah lari menabrak sepedaku. Kami jatuh terduduk ditanah becek berlumpur. Aku
terperangah menatap wajah laki-laki yang baru saja menabrakku, babak-belur.
Mata sebelah kirinya bengkak dengan warna ungu tua, bibir pecahnya
memperlihatkan dua rongga penuh darah yang ditinggalkan gigi akibat pukulan
keras. Tangan kanannya menekan luka menganga pada perut sebelah kiri yang terus
mengucurkan darah segar. Laki-laki yang kutaksir berusia pertengahan tiga
puluhan itu, tergesa melompat menarik tanganku.
“Berikan
kertas ini pada kapten Aris, Berlian Tower lantai lima belas. Jangan sampai
kertas ini jatuh pada orang lain. Larilah, mereka akan segera tiba”, bisiknya
terengah-engah dengan pandangan penuh permohonan. Mulutku terbuka siap
menghujaninya dengan pertanyaan, tapi lelaki
itu telah berlari meninggalkanku.
Telingaku
menangkap ramai derap kaki berlarian di belakangku. Seketika otakku memberi
perintah pada segenap syaraf tubuh untuk lari…!!!
Kukayuh
sepeda bagai orang kesurupan. Ini pasti masalah serius. Siapa kapten Aris?
Seperti apa wajahnya? Bagaimana caranya agar kertas penting ini bisa kuberikan
padanya? Siapa lelaki bersimbah darah yang menabrakku itu? Puluhan pertanyaan
berseliweran di kepalaku.
Aku
tak mungkin lagi ke sekolah dengan baju belepotan lumpur dan noda darah dari
tubuh laki-laki yang menabrakku tadi. Pulang ke rumah, lebih tak mungkin lagi
jika membayangkan aku akan di interogasi orang serumah karena bolos sekolah.
Derap
langkah-langkah kaki semakin jelas kudengar.
“Hei,
tangkap anak itu” sebuah suara menggelegar membelah langit pagi. Aku menoleh.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan wajah sangar, mengarahkan
telunjuknya padaku.
Aku
pacu sepedaku lebih cepat, merunduk, meliuk-liuk menghindari segala penghalang
didepanku. Ruang rahasia di basecamp Robot, tempat itu yang muncul dibenakku
sebagai tujuan saat ini.
“Kejaaarr…menyebar…jangan
sampai anak itu lolos”, sayup-sayup kudengar suara dibelakangku.
Aku
melesat bersama sepedaku.
(Bersambung…)
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
Keren mba, ikut deg-degan
BalasHapusMakasih mba Nindyah...aku juga ga tau tuh tulisan mau nyeritain apa sebenarnya..hihiii
BalasHapus